Pelestarian Bahasa-Bahasa Daerah

PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA-BAHASA DAERAH DI INDONESIA

Kisyani-Laksono (FBS, Unesa)
Seminar Internasional dalam rangka Bulan Bahasa, Bandung, Oktober 2009

Until now, the opinions about the number of languages in Indonesia is very diversed. In addition, research and mapping of local-languages in Indonesia have been conducted by several linguist and Pusat Bahasa. However, the focus of many researches is the description of the local languages, The focus is not a solution of preservation and development of local languages. The effort proposed for the revitalization and preservation and/or development of local languages is through i.e. documentation; using the local language and learning; using creativity of local language; empowering vocabulary absorption from other languages; contributing local language vocabulary to bahasa Indonesia; module preparation of local language.

Key words: preservation, local languages, documentation.

A. Pendahuluan
Pada tahun 2000, jumlah bahasa di dunia adalah 6.809 (cf. Grimes, 2000). Jumlah itu dapat saja bertambah karena ada bahasa-bahasa yang belum teridentifikasi atau dapat saja menyusut karena ada bahasa-bahasa yang punah. Saat ini (tahun 2008) jumlah bahasa di dunia bertambah menjadi 6.912. Dari jumlah itu, Indonesia menduduki
peringkat kedua terbanyak dalam hal jumlah bahasa (741 bahasa) setelah Papua New Guinea (820 bahasa). Jumlah
741 itu sebagian besar adalah bahasa daerah di Indonesia.

B. Kondisi Bahasa Daerah di Indonesia
Dalam hal jumlah bahasa di Indonesia, Esser (1951) menyebutkan angka 200 buah bahasa, Salzner (1960) menyatakan ada 96 buah bahasa; Lembaga Bahasa Nasional yang melakukan penginventarisasian bahasa- bahasa di Indonesia mulai 1969 s.d 1971, dalam laporannya (1972) menyebutkan angka 418 buah bahasa; Grimes (2000) menyebutkan ada 672 buah bahasa; Summer Institute of Linguistics/SIL (2006) menyebut angka
741 bahasa; Pusat Bahasa (2008) menyebut angka 442.
Penelitian dan pemetaan bahasa daerah di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa linguis dan Pusat Bahasa. Akan tetapi, fokus penelitian itu sebagian besar adalah deskripsi mengenai bahasa daerah, bukan merupakan solusi dari semakin terpinggirkannya bahasa daerah.
Dalam hal pemetaan secara nasional dapat diperiksa
pemetaan yang dilakukan oleh Lembaga Bahasa Nasional (1972); Wurm dan Hattory (1983); Summer Institute of Linguistics/SIL (2006); Pusat Bahasa (2008). Peta yang dibuat oleh Lembaga Nasional menunjukkan peta per pulau (wilayah). Wurm dan Hattory, SIL, dan Pusat Bahasa telah memetakan secara keseluruhan.
Beberapa bahasa tentu saja pernah diteliti. Adapun
penelitian bahasa yang telah dilakukan dideskripsikan oleh sebagai berikut (cf. Grimes, 2000).

Peringkat Jumlah Bhs yang Diteliti Uraian Contoh Bahasa
A 40—50 diteliti secara memadai dan mendalam, hampir segala seluk beluknya Inggris Jerman
B 600 diteliti secara memadai dan mendalam, baru sebagian ihwalnya Indonesia
Tagalog
C 1000 diteliti kurang mendalam, baru tata bahasa dalam bentuk ”sketsa” Jawa
D 2000—3000 diteliti kurang memadai, deskripsi sederhana, dan ada daftar kata (belum sampai kamus)

Dari bagan terlihat bahwa bahasa Jawa masih berada pada peringkat C, dianggap “belum diteliti secara mendalam”. Padahal, bahasa Jawa seharusnya masuk dalam peringkat B. Pada sisi lain, hal itu juga menunjukkan bahwa bahasa yang sudah masuk dalam kategori A lebih berpeluang kecil untuk diteliti kembali, sedangkan bahasa yang masuk dalam kategori B, C, apalagi D sangat berpeluang untuk diteliti dari segala aspeknya. Sebagian besar bahasa daerah di Indonesia termasuk dalam kategori D sehingga peluang untuk melakukan penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia masih terbuka lebar.

Selanjutnya, peringkat bahasa dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia adalah sebagai berikut:
(1) Jawa (peringkat ke-12 dunia: 75,6 juta penutur);
(2) Sunda, ke-39: 27 juta;
(3) Indonesia, ke-50: 17,1 juta (140 juta sebagai bahasa kedua);
(4) Madura, ke-61: 13,7 juta;
(5) Minangkabau, ke-95: 6,5 juta;
(6) Batak, ke-99: 6,2 juta;
(7) Bali, ke-124: 3,8 juta;
(8) Bugis, ke-129 (sebagai bahasa kedua: di bawah 4 juta);
(9) Aceh, ke-147: 3 juta;
(10) Betawi/kreol, ke-156: 2,7 juta;
(11) Sasak, ke-175: 2,1 juta;
(12) Makassar, ke-196 (sebagai bahasa kedua: 2 juta);
(13) Lampung, ke-205 (sebagai bahasa kedua: di bawah 1,5 juta);
(14) Rejang, ke-258: kurang dari 1 juta
(SIL dalam Wikipedia, diunduh 25 Juni 2008).

C. Keberagaman Bahasa Daerah
Pada dasarnya, ada dua batasan tentang bahasa daerah: batasan geografis dan batasan genetis. Dalam batasan geografis, orang Batak yg lahir di Jawa bisa saja fasih berbahasa Jawa. Selain itu, secara geografis, daerah perbatasan antarbahasa biasanya merupakan daerah yang unik dari sisi kebahasaan karena beberapa unsur keba- hasaan cenderung bercampur dan saling mempengaruhi.
Di Gresik, Jawa Timur dijumpai bentuk pronomina
posesif mendahului nominanya. Contoh:

sunomah ‘rumah saya’ sunoncor ‘obor saya’ sunanak ‘anak saya’

Kata sun digunakan jika penutur berjenis kelamin perempuan. Jika berjenis kelamin laki-laki, urutan yang umum digunakan sama dengan daerah lainnya yang berbahasa Jawa (pronomina posesif mengikuti nominanya). Contoh:
omahku ’rumah saya’
oncorku ’obor saya’
anakku ’anak saya’

Gresik merupakan daerah perbatasan antara bahasa Jawa dan Madura. Susunan pronomina posesif yang mendahului nominanya ternyata merupakan pengaruh dari bahasa Madura yang menggunakan susunan yang sama. Contoh:
tang bengko ‘rumah saya’
Adapun batasan genetis menunjukkan bahwa orang Jawa tentu saja berbahasa Jawa seandainya mereka mewarisi bahasa daerah (bahasa ibu) masing-masing dari orang tuanya, tidak peduli di mana pun mereka tinggal. Akan tetapi, tidak semua orang Jawa pandai berbahasa Jawa. Orang Jawa yang lahir di Pontianak belum tentu bisa berbahasa Jawa. Bahkan pernah pula terjadi orang Madura yang tidak berani berbahasa Madura di Kali- mantan Tengah karena dicekam konflik antarsuku yang parah.

Selain itu, di beberapa perumahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat cenderung menggunakan bahasa Indonesia untuk pergaulan. Ada kesan mereka menghindari penggunaan krama karena merasa kurang menguasai krama itu. Di Surabaya dan sekitarnya, tingkat tutur krama membuat beberapa penutur bahasa Jawa memilih menggunakan bahasa Indonesia dan enggan menggunakan bahasa Jawa kepada lawan bicara karena penutur merasa kurang menguasai tingkat tutur krama. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi karena basa Suroboyoan memang tidak banyak mengenal bentuk krama, bahkan kadang-kadang mencampuradukkan krama inggil dan krama andhap (bahasa Jawa di Jawa Timur memiliki krama yang berbeda dari pemakaian umum di Jawa Tengah).

Di Surabaya dan sekitarnya, pada umumnya, ada persepsi bahwa jika seseorang menggunakan kosakata krama dalam situasi apa pun dan untuk siapa pun (termasuk krama inggil untuk diri sendiri), hal itu sudah dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang diajak berbicara (Kisyani-Laksono, 2003). Contoh: Kula kate sare. ‘Saya akan tidur.’ digunakan dengan mak- sud untuk menghormati orang yang diajak berbicara (Kata sare ‘tidur’ dalam dialek Solo-Jogja hanya digunakan untuk orang lain yang dihormati dan tabu untuk diri sendiri). Oleh sebab itu, dialek Solo-Jogja menggunakan krama: Kula badhe tilem. ‘Saya akan tidur.’ Penutur di Surabaya dan sekitarnya lebih senang menerapkan krama dan krama inggil dengan alasan bahwa krama inggil dianggap lebih halus daripada krama sehingga penggunaan krama inggil (untuk orang pertama) justru dianggap lebih meninggikan mitra bicara. Dalam contoh yang lain, penutur yang berumur dan berstatus sosial cenderung sama dapat mengatakan Mangke kula paringi bukan Mangke kula caosi ’Nanti saya beri’. Yang pasti, hal ini harus diterima sebagai fenomena yang terjadi di Surabaya dan sekitarnya (Jawa Timur) dan tidak untuk disalahkan.
Pada sisi lain, menurut Unesco, ada sepuluh bahasa punah/mati setiap tahun. Oleh sebab itu, sejak tahun
1999, tanggal 21 Februari ditetapkan sebagai international mother language day oleh Unesco. Salah satu sebab kepunahan bahasa adalah ditinggalkan penuturnya (karena terpaksa atau karena bahasa lain diasosiasikan lebih maju/modern). Di Indonesia, bahasa daerah terancam punah karena ditinggalkan penuturnya sebagai akibat dari globalisasi dan perkembangan teknologi (Mendiknas dalam acara pembukaan Kongres Bahasa Jawa IV tahun 2006 di Semarang).

Bahasa daerah memang telah mengalami berbagai perubahan akibat perkembangan teknologi informasi yang mampu menembus batas-batas ruang. Perkembangan tatanan baru kehidupan dunia dan teknologi informasi yang semakin sarat dengan tuntutan dan tantangan globalisasi telah mengondisikan dan menempatkan bahasa asing pada posisi strategis yang memungkinkannya memasuki berbagai sendi kehidupan bangsa sekaligus mempengaruhi perkembangan bahasa daerah dengan mendesaknya dan memudarkannya. Hal itu pada akhirnya juga membawa perubahan perilaku masyarakat dalam bertindak dan berbahasa.

Berbagai kata dan istilah dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) biasanya tidak tersedia dalam kosakata bahasa daerah. Hal itu merupakan salah satu sebab adanya anggapan bahwa bahasa asing diasosiasikan lebih maju/modern. Anggapan itu ibarat virus HIV yang menggerogoti kesehatan suatu bahasa. Virus itu mudah berjangkit pada bahasa daerah, apalagi yang jumlah penuturnya sedikit dan cenderung terisolasi. Oleh sebab itu, diperlukan obat anti-virus yang manjur karena bagaimana pun bahasa daerah merupakan aset kebudayaan yang harus dipelihara dan terus ditumbuh- kembangkan.

Memang pada dasarnya, bahasa akan selalu kembali pada sifat asalnya, yaitu arbitrer. Ukuran arbitrer atau semena-mena dapat dilihat pada konsepnya, yaitu tidak ada hubungan yang hakiki antara kata dan makna, tidak ada hubungan langsung antara bentuk (form) dan arti (meaning)nya. Untuk menyebut hal yang sama digunakan kata yang berbeda-beda pada masing-masing bahasa, misalnya: kata ‘hidung’ (Indonesia), idong (Melayu Ambon: Takaria dan Pieter. 1998), dan nose (Inggris) untuk menyebutkan konsep yang sama yaitu ’hidung’. Penyebutan yang berbeda itu ditentukan oleh tradisi, sedangkan hubungan antara bentuk dan arti ditentukan oleh konvensi. Tetapi, kata arbitrer atau semena-mena itu tidak boleh memberi gagasan bahwa penanda bergantung pada pilihan bebas penutur tanpa motif karena sekali lambang melembaga dalam masyarakat, bukan wewenang individu untuk menggantinya. Semena-mena itu ada dalam kaitannya dengan petanda karena penanda pada umumnya tidak memiliki ikatan dengan petanda dalam kenyataan (cf. Saussure, 1988).

Jika pada akhirnya bahasa akan kembali pada sifat hakiki bahasa yaitu arbitrer, masalahnya kembali lagi pada penutur bahasa daerah sebagai penentu. Paling tidak, reaksi penutur bahasa daerah akan mempengaruhi hakikat satuan-satuan bahasanya. Reaksi penutur bahasa daerah akan menjadi data yang harus dipelajari dalam studi bahasa karena reaksinya dapat menjadi bagian dari definisi struktur bahasa. Jadi, jika penutur memegang peran yang menentukan, tentunya pengembangan bahasa juga harus memperhitungkan penutur bahasa daerah sebagai peng- guna bahasa karena penerimaan dan penolakan penutur sebagai pengguna bahasa akan merupakan umpan balik yang sangat baik dan perlu diperhitungkan serta dipertimbangkan bagi pengembangan bahasa. Oleh sebab itu, pemekaran istilah yang berterima dalam bahasa daerah harus terus dilakukan supaya penutur dapat menemukan istilah-istilah yang tepat untuk meng- ekspresikan suasana atau isi hati dan pikirannya.

D. Bahasa yang Bertahan Hidup dan/atau Berkembang

Komposisi jumlah penduduk merupakan hal yang menentukan kelestarian bahasa daerah. Jumlah penutur yang banyak akan membuat bahasa daerah mampu bertahan hidup dan berkembang. Adapun bahasa daerah yang berpenutur sedikit dan cenderung menyusut akan tenggelam dan harus diselamatkan, teristimewa oleh daerahnya dan para putra daerahnya.

Berikikut ini adalah kondisi kesehatan bahasa berdasarkan beberapa sumber.
Kondisi Kesehatan Bahasa (Crystall, 2000); Wurm, 1998; Krauss, 1992; Linguis Jerman, 2000
Aman (safe) mendapat dukungan dari pemerintah dan memiliki penutur dalam jumlah besar
Aman (safe) tidak terancam punah, bahasa ini diharapkan dipelajari oleh semua anak dan semua orang dalam etnik itu.
Berpotensi terancam punah (potentially endangered) Secara social ekonomi penuturnya minoritas serta mendapat tekanan cukup besar dari bahasa mayoritas. Generasi musa sudah berpindah ke bahasa mayoritas dan jarang meng- gunakan bahasa ibu.
Kondisi stabil, mantap, tetapi terancam punah (stable but threatened): semua anak-anak dan
kaum tua menggunakan, tetapi jumlah penutur sedikit
Mengalami kemunduran (eroding) sebagian penutur anak- anak dan kaum tua, anak-anak lain tidak menggunakan
Terancam punah (endangered) Terancam punah (endangered) Terancam punah
(endangered) Tidak mempunyai generasi muda yang dapat berbahasa ibu. Yang fasih hanya generasi menengah (dewasa) meskipun sekarang masih dipelajari, tetapi akan ditinggalkan oleh-anak-anak pada masa yang akan datang semua penutur 20 tahun ke atas
Sangat terancam punah (seriously endangered) berpenutur generasi tua di atas 50 th.
Sangat terancam (severly endangered) penuturnya 40 tahun ke atas
Sekarat (moribund) Dituturkan oleh penutur berusia 70 th ke atas
Sekarat (moribund) tidak digunakan, tidak dipelajari, atau diperoleh oleh anak- anak sebagai bahasa ibu (mother tongue)
Sangat kritis (critically endangered) penurnya sedikit, berusia 70 tah ke atas
Dianggap punah (extinct) penutur hanya satu atau tidak ada penutur

Yang patut dicermati adalah kategori tersebut didasarkan pada penghitungan kuantitatif (dilihat dari jumlah penutur dan kelompok usianya) dan tidak memperhatikan unsur kualitatif. Akan tetapi kategori itu dapat menjadi salah satu identifikasi kondisi kebahasaan yang ada. Bagi penutur suatu bahasa, kategori itu juga dapat menjadi salah satu kaca brenggala ‘kaca untuk melakukan refleksi diri’ untuk melihat kondisi bahasa daerahnya atau bahasa ibunya.

Di Indonesia, bahasa yang terancam punah ada di beberapa daerah berikut (cf. Pieter J dan Helja
Heikkinen Clouse. 1991; SIL, 2006)

Terancam punah
1 Papua 208
2 Maluku 4
3 Maluku utara 3
4 Sulawesi 16
5 NTT 12
6 Kalimantan 13
7 Sumatra 1
JUMLAH 257

Pada sisi lain, hasil penelitian Handono pada tahun
2004 terhadap penggunaan bahasa Jawa di Semarang adalah sebagai berikut (cf. Mahsun, 2005).

Ranah Pilihan Bahasa
Bahasa
Jawa Bahasa
Indonesia Bahasa
Campuran
Rumah 26,16 40,72 33,12
Ketetanggaan 21,13 45,43 33,44

Dalam tabel tampak bahwa penggunaan bahasa daerah
(dalam hal ini bahasa Jawa) hanya berkisar pada angka
20-an persen, angka yang sangat kecil dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa campuran (Jawa-Indonesia). Lalu, bagaimanakah cara sekaligus upaya menumbuhkembangannya ke depan?
Memang perkembangan bahasa daerah tampak tidak begitu menggembirakan sehingga perlu dipelihara dengan baik. Pemeliharaan bahasa daerah berarti me- lindungi bahasa daerah agar tetap memainkan peran dalam kehidupan masyarakat, pada tatanan kehidupan masa kini dan masa mendatang (cf. Kridalaksana, 2006). Pemeliharaan ini berupa pengembangan bahasa daerah agar mampu memenuhi tuntutan masyarakat pendukung- nya, di antaranya meliputi pemekaran kosakata dan kodifikasi berupa penyusunan pedoman ejaan, kamus, dan tata bahasa. Adapun pembinaan meliputi upaya mempertahankan ranah penggunaan bahasa daerah dan penerusan penggunaan bahasa tersebut untuk generasi berikut. Dengan demikian, pembinaan menyangkut upaya pemantapan peran bahasa daerah dalam masyarakat dan pemutakhiran pembelajaran bahasa daerah bagi generasi penerus yang difokuskan pada pengembangan kurikulum, bahan kajian, media belajar, pengajar dan lingkungan belajar yang disesuaikan dengan sistem pendidikan bahasa masa kini sehingga pembelajaran bahasa daerah menjadi lebih membumi. Selanjutnya, perumusan kebijakan bahasa daerah yang mempunyai potensi kebertahanan dan perkembangan dalam kehidupan masa depan meliputi penelitian, kodifikasi, dokumentasi, dan publikasi, serta upaya pelestariannya (Sugono, 2006).

1. Bahasa yang Bertahan Hidup/Sangat Kritis

Salah satu contoh bahasa yang bertahan hidup/sangat kritis adalah bahasa Ibu di Desa Gamlamo dan Desa Gamici, Kecamatan Ibu, Kabupaten Halmahera Barat, Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Penutur bahasa itu tinggal delapan orang yang semuanya sudah berusia lanjut: lima orang di Desa Gamlamo (pada tahun 2007 berusia 46, 60, 75, 80, 96) dan tiga orang yang berusia di atas 70 tahun di desa Gamici (Kurniawati, 2007).
Bahasa Ibu termasuk bahasa yang sangat kritis
yang ditandai dengan jumlah penuturnya yang sedikit, semuanya/sebagian besar berumur 70 tahun ke atas. Anak cucu para penutur bahasa Ibu menggunakan bahasa Ternate. Hal ini berarti upaya pembinaan berupa mem- pertahankan ranah penggunaan bahasa daerah dan penerusan penggunaan bahasa Ibu untuk generasi berikut tidak berhasil. Oleh sebab itu, diperlukan pemeliharaan bahasa Ibu agar tetap memainkan peran dalam kehidupan masyarakat.
Pemeliharaan bahasa Ibu dapat diwujudkan dengan
pengembangan bahasa tersebut agar mampu memenuhi tuntutan masyarakat pendukungnya, di antaranya meliputi pemekaran kosakata dan kodifikasi berupa penyusunan pedoman ejaan, kamus, dan tata bahasa. Akan tetapi, pada tingkat yang sulit (karena anak cucu penutur enggan menggunakan bahasa Ibu) pemeliharaan dapat diwujudkan dengan (1) dokumentasi penggunaan bahasa Ibu, (2) penyusunan kamus bahasa Ibu, dan (3) upaya memasukkan dan memopulerkan kata-kata dalam bahasa Ibu ke dalam bahasa Indonesia.

2. Bahasa yang Berkembang
Contoh bahasa daerah yang berkembang adalah bahasa Jawa (bahasa daerah dengan jumlah penutur terbanyak di Indonesia). Bahasa ini merupakan bahasa ibu masyarakat Jawa yang tinggal di Jawa Tengah, DIY (daerah istimewa Yogyakarta), Jawa Timur, Banten, Lampung, Nangro Aceh Darussalam, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Bengkulu, Lampung, Riau-Kepri, Jambi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan beberapa tempat di luar negeri (misalnya: Suriname, New Caledonia, dan Pantai Barat Johor).
Dalam hal variasi berdasarkan daerah, bahasa Jawa juga mengenal beberapa dialek (cf. Meillet, 1970; Wardhaugh, 1988), antara lain: dialek Solo-Jogja, Pekalongan, Wonosobo, Banyumas, Tegal, Pantura, Cikoneng, Cirebon, Ciamis, Jawa Timur, Osing (cf. Nothofer, 1980, 1981; Kisyani-Laksono, 2003). Penggunaan istilah ”bahasa” dapat dicermati dari dua sisi. Yang pertama, ”bahasa” dalam identitas sebagai sesuatu yang mandiri yang berbeda dengan bahasa lain (bukan sekadar dialek). Yang kedua, ”bahasa” /basa/ dalam identitas sebagai penanda jati diri kelompok atau daerah seperti halnya istilah /basa sala, basa banyumas, basa tengger, basa osöng, basa surabaya/. Yang menarik, ternyata penutur Osing menganggap ”bahasa” mereka merupakan
”bahasa” tersendiri yang tidak sama dengan bahasa Jawa.
Mereka beranggapan bahwa istilah ”bahasa Osing” merupakan istilah yang lebih tepat daripada ”dialek Osing”. Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa penggolongan suatu bahasa atau dialek dapat ditentukan dari sisi
linguistik atau dari sisi penuturnya. Oleh sebab itu, dapatlah dikatakan bahwa istilah ”bahasa Osing” adalah istilah yang berkenaan dengan pendapat penuturnya, sedangkan istilah ”dialek Osing” merupakan istilah yang berkenaan dengan hasil penghitungan linguistis.

Jika dilihat dari sisi perkembangannya (tahap kemunduran yang dialami bahasa), bahasa Jawa termasuk bahasa daerah dengan kategori ”aman” karena jumlah penuturnya masih banyak dan dipelajari oleh masyarakat etnis Jawa. Akan tetapi, tidak tertutup kemungkinan kategori ini akan berubah menjadi ”stabil dan mantap, tetapi terancam punah” (semua anak-anak dan orang tua menggunakan, tetapi jumlahnya sedikit). Hal itu dapat saja terjadi karena kecenderungan orang tua sekarang untuk membiasakan penggunaan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah/bahasa ibu kepada anak-anaknya.

E. Upaya Revitalisasi serta Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Daerah
Beberapa cara telah ditempuh sebagai upaya revitalisasi serta pelestarian da/atau pengembangan bahasa daerah, termasuk penyelenggaraan kongres bahasa daerah dan upaya menumbuhkan kebanggaan berbahasa daerah. Akan tetapi, apakah ini merupakan obat mujarab? Paling tidak, secara umum ada dua cara yang dapat ditempuh, yakni dengan melakukan dokumentasi (transkrip ke dalam bentuk tulisan) dan/atau melindungi penggunaannya oleh penutur aslinya. Akan tetapi, cara kedua lebih sulit karena ada ratusan bahasa daerah di Indonesia. Oleh sebab itu,
cara pertama diangap lebih praktis dan lebih konkret terwujud. Akan tetapi, bahasa pada hakikatnya adalah apa yang diucapkan, bukan apa yang dituliskan. Jadi, berbicara dalam bahasa daerah itu tetap penting. Ada banyak manfaat yang dapat diperoleh dari bahasa daerah dan wawasan kebahasaan serta etika kita dapat dicerahkan oleh bahasa daerah. Selain dua cara itu, cara apa lagi yang dapat diusulkan?
Dari berbagai pengalaman–selain melindungi penutur
asli serta penyelenggaraan kongres, seminar, dll– diusulkan beberapa uapaya revitalisasi serta pelestarian dan pengembangan bahasa daerah, yakni dengan
1. melakukan pendokumentasian;
2. melakukan penggunaan bahasa/pembiasaan dalam berbicara (sekaligus menyimak), pembiasaan dalam menulis (sekaligus membaca) dan pembelajaran yang komunikatif;
3. melakukan kreativitas dalam penggunaan bahasa;
4. melakukan (memberdayakan) penyerapan kosakata bahasa lain: bahasa Indonesia dan/atau bahasa asing ke dalam bahasa daerah (khususnya untuk kosakata yang tidak tersedia dalam bahasa daerah);
5. menyumbangkan kosakata bahasa daerah ke dalam
bahasa Indonesia;
6. melakukan penyusunan modul bahasa daerah supaya bahasa daerah dapat dipelajari oleh semua orang

Perlu diingat bahwa cara yang paling baik untuk mematikan sebuah bahasa adalah dengan mengajarkan bahasa lain dan membiasakannya. Oleh sebab itu,

pemerintah daerah (pemprov/pemda) dan perguruan tinggi perlu mengurus dan mengatur pengembangan bahasa daerah, baik yang terdapat dalam masyarakat umum maupun yang berlaku di sekolah-sekolah.

1. Pendokumentasian
Pendokumentasian merupakan upaya untuk menuliskan kembali bahasa daerah. Hal itu dapat berwujud kosakata, kalimat, alinea, atau wacana utuh. Untuk bahasa daerah yang ”aman”, pendokumentasian mudah dilakukan. Akan tetapi, untuk bahasa daerah yang termasuk dalam kategori
”sangat kritis”, pendokumentasian lebih sulit. Dalam bahasa Ibu, misalnya, pendokumentasian dapat dilakukan melalui inventarisasi kosakata bahasa Ibu lewat daftar kosakata dasar yang telah dikembangkan, misalnya dengan pengembangan kosakata dalam konsep: “bilangan, ukuran, musim dan waktu, bagian tubuh manusia, tutur sapaan dan acuan, istilah kekerabatan, pakaian dan perhiasan, pekerjaan, binatang, bagian tubuh binatang, tumbuhan: bagian-bagian buah dan hasil olahannya, alam, rumah dan bagian-bagiannya, alat, penyakit dan obat, arah dan penunjuk, aktivitas, sifat, warna dan bau, serta rasa”. Daftar ini pada saatnya digunakan untuk menyusun kamus sederhana dan dapat juga digunakan sebagai dasar penghitungan leksikostatistik atau dialektometri. Bahkan pada tingkat yang sangat sulit, dapat juga dilakukan pendokumentasian kosakata dasar berdasarkan data Swadesh (100 atau 200 kosakata dasar).
Beberapa kosakata bahasa Ibu, di antaranya adalah (urut
abjad).

Kosakata Bahasa Ibu GLOS
de DAN
ipolo HANTAM
jibobo SENDOK
kulubati CACING
mansia ORANG
mautu AKAR
tumdidi DUDUK
uis ALIR
waco OMPONG

2. Penggunaan Bahasa/Pembiasaan dan Pembelajaran yang Komunikatif
Dalam penggunaan bahasa/pembiasaan, peran masya- rakat dan pemerintah/swasta sangatlah penting. Pemerintah/ swasta dapat memfasilitasi siaran berbahasa daerah atau produksi lagu-lagu berbahasa daerah sehingga media cetak/elektronik serta musik/lagu daerah dapat menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri dan menjadi andalan sehingga budaya daerah tetap terpelihara, tumbuh, berkembang, dan dapat menjadi aset kekayaan bangsa. Bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari memberi andil cukup besar dalam suksesnya musik dan lagu daerah di pasaran, sesuai segmentasi pemakai bahasa daerah tersebut. Namun demikian, bagi orang yang bukan pemakai bahasa daerah tersebut tidak tertutup kemungkinan dia juga ikut menikmati dan ikut pula menggemarinya. Berbagai siaran berbahasa daerah juga dianggap positif karena dapat (1) memotivasi masyarakat untuk menggunakan bahasa daerah; (2) memopulerkan dan menumbuhkembangkan bahasa daerah; (3) memopulerkan dan menumbuh-kembangkan istilah baru, (4) menunjukkan kesetaraan bahasa daerah dengan bahasa persatuan sehingga membangkitkan semangat kebhinekaan dalam rangka ”kebhineka- tunggalikaan” (cf. Kisyani-Laksono, 2004).
Akhir-akhir ini, siaran berita berbahasa daerah
mulai banyak dikembangkan. Contoh: di Bali ada Bali TV dengan siaran berbahasa Bali pada sore hari (kembang tumbuhnya bahasa Bali sebagai bahasa daerah yang dipakai dan sangat dihargai di tempatnya sendiri adalah contoh yang baik untuk bahasa daerah lainnya); di Jogja TV ada ”Pawartos Ngayogyakarta” setiap pukul 19.30 dengan bahasa Jawa ragam ngoko; TA TV di Solo menyajikan ”Trang Sandyakala” setiap pukul 17.00 dengan bahasa Jawa ragam krama dan ”Kabar Wengi” setiap pukul 21.00 dengan bahasa Jawa ragam ngoko. Di Surabaya, JTV
dengan ”Pojok Kampung”-nya (berita basa Suroboyoan) mampu menyedot pemirsa (Kisyani-laksono, 2004). Bahkan siaran berita Pojok Kampung itu telah mendapatkan penghargaan dari Surabaya Heritage pada Senin, 7 Juli
2008 sebagai salah satu pusaka bangsa (melestarikan basa Suroboyoan).
Dalam hal pembiasaan penggunaan bahasa daerah, Bambang Dwi Hartono (Walikota Surabaya) membuat gebrakan baru, yakni sejak tanggal 15 Januari 2008, Pemkot dan Diknas Surabaya membuat kebijaksanaan “wajib berbahasa Jawa satu hari dalam satu minggu di sekolah (setiap hari tertentu)”. Memang seharusnya pembinaan bahasa melalui pendidikan generasi berlapis. Beberapa siswa mengaku telah mendapatkan manfaat dari pembiasaan ini, yaitu mereka menjadi lebih mengenal bahasa Jawa dan dapat menerapkan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, meskipun masih ada kendala dalam penggunaannya. Pada umumnya kendala yang mereka rasakan adalah tidak terbiasa menggunakan bahasa Jawa dengan guru (merasa kikuk) dan adanya anggapan bahasa Jawa itu sulit dan rumit. Sebenarnya, akan lebih bagus lagi jika setiap semester langkah ini dievaluasi. Evaluasi dapat dilakukan oleh guru bahasa di sekolah masing- masing dengan sistematika laporan dan rubrik penilaian yang sama untuk semua sekolah di Surabaya sehingga hasilnya dapat disatukan. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai refleksi untuk perencaanaan berikutnya yang lebih
baik.
Pada sisi lain, pembelajaran bahasa daerah hendaknya dilakukan secara komunikatif dengan pumpunan pada bagaimana bahasa itu biasa digunakan (lewat cara pembiasaan), bukan pada tata bahasa dan kosakata yang jarang digunakan. Contoh: pembelajaran bahasa Jawa yang menggunakan buku yang memuat mengenai tata bahasa dan kosakata yang tidak digunakan dalam kehidupan siswa (misalnya: nama jenis bunga, nama anak binatang, dll.) cenderung membuat siswa menghafal kata-kata itu, tetapi tidak menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (tidak melakukan pembiasaan).

3. Kreativitas
Kreativitas dalam penggunaan bahasa biasanya dijumpai pada bahasa yang termasuk dalam kategori mantap dan stabil atau aman. Dalam bahasa Jawa, misalnya, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, sekarang dapat pula dijumpai beberapa laman atau situs berbahasa Jawa, misalnya: Uwww.jowo.us;U kamus boso Jowo, kawruh boso Jowo, blog boso Jowo, dll.

Bahkan dalam Uhttp://ketawa.com/humor-lucu/det/4130/ Uterjemahan_lagu_boso_jowo.html ditampil- kan padanan judul lagu dalam bahasa Inggris dan bahasa Jawa yang memancing senyum dan tawa karena padanan itu cenderung merupakan inter- pretasi. Contoh: I Don’t Like to Sleep Alone (Paul Anka) = kelonana aku ’peluk aku waktu tidur’; Wild Woman (Michael Learns to Rock)= morotuwo ’mertua’; Black Magic Woman (Santana) = Mak Lampir ’(nama tokoh wanita/penyihir jahat dalam suatu cerita populer di Jawa)’; Suddenly (Billy Ocean) = mak jegagik/ujug-ujug ’tiba-tiba’; Zombie (Cranberries) gendruwo ’hantu hitam besar laki-laki’; Lady Valentine (David Gates)= putri Solo; I don’t Have the Heart (James Ingram)= rempela thok ’hanya empedal’; In Your Eyes (George Michel)= blobok ’tahi mata’; Words (Bee Gees) = nggedebus ’omong kosong’; More than Words (Extreme)
=nggedebus pol ’penuh omong kosong’; Smoke on The
Water (Deep Purple) = umob ’mendidih’; Always Somewhere (Scorpion) = mblayang wae ’pergi terus’; Goodbye (Air Supply) = minggat ’pergi’. Kreativitas penggunaan bahasa Jawa berupa interpretasi yang memancing senyum dan tawa ini biasanya cenderung diingat oleh para penuturnya (cf. Basa Suroboyoan dalam Pojok Kampung JTV). Kreativitas lainnya dapat diwujudkan dengan berbagai lomba berbahasa Jawa, pertunjukkan berbahasa Jawa di pusat- pusat keramaian/ perbelanjaan, kolom atau acara untuk menampung kreativitas remaja dalam media berbahasa Jawa, dan penciptaan istilah baru.

4. Penyerapan Kosakata Bahasa Lain
Perkembangan ipteks mengharuskan kita untuk menyerap berbagai kosakata bahasa lain. Berkat kreativitas pula, mesin pencari yang populer di internet, yakni Google menyediakan Google Boso Jowo dengan tampilan awal standar seperti tampilan Google dalam bahasa lainnya.

Web UGambar – gambar Paguyuban Kabeh Topik U

UMeh mlebu

Google Inḍonesia

Google Nggoleki Kula Kroso Bejo

UNggolekki sing luwih pepak
U UPilihan
U UPiranti Tumrap BasaU

Nggoleki Web Kaca saka Inḍonesia

Google.co.id ana ing: UIndonesia English U

UKabeh gambaran saka Google U- UGoogle.com in English
©2008 Google

Saat di klik Ugambar-gambarU pada pojok kiri atas tampilan Google itu, akan muncul tulisan Nggoleki gambar
’mencari gambar’ dan Mesin kanggo nggoleki gambar paling lengkap ning web ’ Mesin pencari gambar paling lengkap di web.’. Petunjuk dalam bahasa Jawa akan muncul juga saat diklik beberapa menu, misalnya kalimat Nganggo tampilan Google sing wis diterjemahke nang boso sampeyan
’Menggunakan tampilan Google yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Anda’, dan seterusnya.
Dari berbagai hal tersebut tampak bahwa untuk mengembangkan bahasa daerah, kosakata bahasa Indonesia (Contoh: tampilan, terjemahan) dan bahasa asing (Contoh: web, format file, domaine) dapat pula diserap (khususnya untuk kata-kata yang tidak tersedia dalam bahasa daerah itu). Oleh sebab itu, cara lain untuk mengembangkan bahasa daerah adalah dengan melakukan penyerapan kosakata bahasa Indonesia dan/atau bahasa asing ke dalam bahasa daerah. Akan lebih bagus lagi jika menu bahasa daerah (misalnya: bahasa Madura) muncul dalam Google translate (semoga ada yang tertarik untuk melakukannya).

5. Sumbangan Kosakata Bahasa Daerah
Setiap bahasa pasti mempunyai kosakata yang jumlahnya pun beragam. Jika hal ini dikaitkan dengan pemekaran bahasa, kosakata bahasa Indonesia atau kosakata bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa daerah dapat ikut mengembangkan bahasa daerah. Sebaliknya, dalam rangka pengembangan bahasa nasional (bahasa Indonesia), kosakata dalam bahasa daerah dapat dijadikan sumber pemekaran dan pemerkaya bahasa Indonesia. Bahkan dalam “Pedoman Umum Pembentukan Istilah” disebutkan bahwa sumber dari bahasa daerah seharusnya lebih diutamakan daripada sumber dari bahasa asing.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia atau (KUBI)
dapat dicermati besarnya sumbangan kosakata bahasa daerah dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, KUBI hanya melacak dan memuat lima bahasa daerah saja, yakni bahasa Jakarta, Jawa, Minangkabau, Palembang, dan Sunda. Dalam hal kuantitas (berdasarkan penghitungan kosakata bahasa daerah dalam KUBI) terlihat bahwa sumbangan kosakata bahasa daerah untuk memperkaya bahasa Indonesia berjumlah 2.827. dari jumlah itu, bahasa Jawa mempunyai andil yang besar dalam memperkaya bahasa Indonesia (1.002 lema). Padahal, bahasa daerah lain—selain bahasa Jawa, Jakarta (785 lema), Minangkabau (956 lema), Palembang (9 lema), Sunda (975 lema)—juga punya potensi yang sama untuk pemekaran dan pemerkaya bahasa Indonesia (Poerwodarminto, 1986). Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelusuran dan peng- gunaan kosakata bahasa daerah yang bersifat integratif untuk semakin memperkaya dan mencemerlangkan bahasa Indonesia.

Percepatan pengembangan kosakata bahasa daerah dapat dilakukan melalui pemberian dorongan dan kemudahan bagi masyarakat yang mempunyai ruang gerak dan potensi mengembangkan kosakata seperti penyiar, peneliti, penulis, penerjemah, wartawan, pendidik, pejabat, rohaniwan, pencipta lagu, penyanyi, pebisnis, pemilik modal, ilmuwan, dan lain-lain. Selama ini tampak bahwa bahasa daerah telah ikut andil besar dalam memperkaya bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, penelusuran potensi kosakata bahasa daerah, khususnya yang berkaitan dengan kearifan lokal, akan dapat memperkaya kosakata bahasa daerah sekaligus memperkaya dan mencemer- langkan bahasa Indonesia.
Masalah selanjutnya adalah, apa saja kosakata yang
dapat digunakan sebagai pemerkaya bahasa Indonesia? Sebenarnya, ada beberapa kosakata yang dapat digunakan, yakni (Kisyani-Laksono, 2007):
(1) kata atau istilah khusus yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia,
(2) kata atau istilah yang berkaitan dengan
budaya/kearifan lokal,

(3) satu kata atau istilah yang dapat menggantikan frasa dalam bahasa Indonesia.

Contoh (urut abjad):

1 babulu
(Melayu Ambon) ’berlayar ke pulau-pulau untuk
mencari barang dagangan, seperti kelapa, sagu mentah, dan umbi- umbian’
2 paleti
(Melayu Ambon) ’pemberian diungkit-diungkit bila
terjadi perselisihan’
3 paleu
(Melayu Ambon) ”mengulang-ulang pembicaraan
sehingga pendengar menjadi bosan’

Contoh beberapa kosakata itu dapat dibiasakan peng- gunaannya/dipopulerkan oleh masyarakat, pemerintah, dunia pendidikan, dan berbagai unsur yang terkait dalam upaya melakukan pembiasaan.
Dalam hal ini, sumbangan kosakata bahasa daerah akan mempunyai dua manfaat, yakni untuk pemekaran dan pemerkaya bahasa Indonesia serta untuk meningkatkan daya hidup/perkembangan bahasa daerah itu sendiri

6. Penyusunan Modul
Modul merupakan sarana yang sangat efektif untuk belajar mandiri termasuk dalam pembelajaran bahasa. Jika kita menginginkan bahasa daerah dipelajari oleh orang banyak secara mandiri dan terbiasa digunakan oleh orang banyak, modul adalah jawabannya.

Pusat Bahasa merupakan lembaga yang paling erat berhubungan dengan bahasa daerah/bahasa ibu. Para pakar bahasa terdapat di Pusat Bahasa yang memiliki jaringan berwujud 22 Balai Bahasa atau Kantor Bahasa di Indonesia (akan bertambah 8 lagi). Adapun Universitas Terbuka (UT) merupakan lembaga perguruan tinggi yang handal dalam penyusunan modul. UT memiliki jaringan 37 unit program belajar jarak jauh (UPBJJ) di Indonesia. Selain itu, beberapa LPTK yang meretas para calon guru bahasa daerah mempunyai beberapa pakar kependidikan dalam bidang bahasa daerah.
Kerja sama antara Pusat Bahasa, UT, dan LPTK untuk menyediakan modul berbahasa daerah sebagai upaya pelestarian bahasa daerah tentu saja tidak menjanjikan banyak keuntungan secara finansial, tetapi keuntungan nonfinansial untuk komitmen menjaga kekayaan budaya tentu akan membuahkan hasil yang manis.
Selain itu, modul juga seharusnya berisi
pembelajaran yang komunikatif dengan pumpunan pada penggunaan bahasa.

F. Penutup
Dokumentasi penggunaan bahasa; pembiasaan dalam berbicara (sekaligus menyimak), pembiasaan dalam menulis (sekaligus membaca), dan pembelajaran yang komunikatif; melakukan kreativitas dalam penggunaan bahasa; melakukan (memberdayakan) penyerapan kosakata bahasa lain: bahasa Indonesia dan/atau bahasa asing ke dalam bahasa daerah (khususnya untuk kosakata yang tidak tersedia dalam bahasa daerah); menyum- bangkan kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesi; penyusunan modul bahasa daerah merupakan upaya revitalisasi serta pelestarian dan/atau pengem- bangan bahasa daerah.
Penyerapan kosakata bahasa Indonesia dan/atau bahasa asing ke dalam bahasa daerah (khususnya untuk kosakata yang tidak tersedia dalam bahasa daerah) dapat ikut menopang kehidupan dan perkembangan bahasa daerah. Sebaliknya, sumbangan kosakata bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia akan semakin memekarkan dan memperkaya bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelusuran dan penggunaan kosakata bahasa daerah yang bersifat integratif, kaya kearifan lokal, dan belum ada atau lebih pendek dari bahasa Indonesia untuk semakin memperkaya dan mencemerlangkan bahasa Indonesia. Sebaliknya, perlu pula dilakukan penyerapan bahasa Indonesia dan bahasa asing ke dalam bahasa daerah (khususnya untuk kata-kata yang tidak tersedia dalam bahasa daerah) untuk semakin mengembangkan bahasa daerah.
Dalam hal ini, peran pemerintah/swasta, dunia pendidikan, serta masyarakat khususnya yang mempunyai ruang gerak dan potensi melestarikan dan/atau mengem- bangkan bahasa daerah akan ikut menentukan masa depan bahasa daerah dan akan semakin mengukuhkan keberadaan bahasa daerah.
Semoga di waktu mendatang, tidak akan terungkap kalimat ”Dahulu pernah ada bahasa Ibu di Maluku, bahasa Moraori di Merauke, bahasa Nakaela di Seram Barat, bahasa Tola’ di Kalimantan; bahasa Ndao di Rote-NTT; bahasa Baras di Sulawesi, bahasa Lom di Sumatra,”. Semoga akan terungkap kalimat “Kata ‘paleu’ berasal dari bahasa Melayu Ambon. Kata itu …”.

DAFTAR PUSTAKA

Crystal, David. 2000. The Cambridge Encyclopedia of
Language. Sydney: Cambridge University Press. Grimes, Barbara dalam Summer Institute of Linguistics
(SIL). 2000. “Geographical Linguistics”.
Uhttp://www.yahoo.com.U Diunduh 25 Oktober 2004.
http://www.wikipwdia.com. “List of Languages by
Number of Native Speakers”. Diunduh 25 Juni
2008.
Uhttp://www.infoplease.com/ipa/A0775272.html.U “Most Widely Spoken Languages in the World”. Diunduh 25 Juni 2008.
Kisyani-laksono. 2003. Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian
Utara dan Blambangan. Jakarta: Pusat Bahasa.
. 2004. “Pojok Kampung: Siaran Berita Berbahasa Jawa yang Naik Daun”. Surabaya. Dalam Simposium Internasional III Bahasa, Sastra, dan Budaya Austronesia, 19–21 Agustus 2004. Denpasar.
———-. 2007. ”Sumbangan Kosakata Bahasa Daerah”.
Dalam Seminar Bahasa-bahasa Daerah di Wilayah
Indonesia Timur. Ambon.
Kridalaksana, Harimurti. 2006. ”Penyerapan Kosakata dari Bahasa Daerah dan Masalahnya”. Disajikan dalam Seminar Internasional Leksikografi. Jakarta.
Kurniawati, Wati. 2007. ”Bahasa Ibu Menunggu Hari
Kepunahan”. Dalam Kongres Linguistik Nasional XII,
3—6 September 2007. Surakarta.
Lembaga Bahasa Nasional. 1972. “Peta Bahasa-bahasa di Indonesia”. Dalam Bahasa dan Kesusasteraan, seri khuus no 10/1972. Jakarta: Ditjen Kebudayaan, depsikbud.
Mahsun. 2005. ”Dinamika Bahasa Indonesia dalam
Kebinekaan Bahasa Daerah”. Dalam Seminar Bahasa dan Sastra Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia, 7—8 Maret 2005. Mataram.
Meillet, Antoine. 1970. The Comparative Method in Historical
Linguistics. (Trans. Gordon B. Ford). Paris: Libraire
Honore Champion.
Nothofer, Bernd. 1980. Dialektgeographische Untersuchungen in West-Java und im Westlichen Zentral-Java. Wiesbaden: Otto Horrassowitz.
. l981. Dialektatlas von Zentral-Java. Wisbaden: Otto Horrassowitz.
1987. “Cita-Cita Penelitian Dialek”. Dalam Dewan Bahasa, Jurnal Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Februari 1987, Jilid 31, Bilangan 2: 128—
149.
Pieter J dan Helja Heikkinen Clouse. 1991. “Index of Irian Jaya Languages”. Edisi ke-2. Dalam A Special Publication of Irian Bulletin of Irian Jaya.

Poerwodarminto, W.J.S. 1986. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Pengantar Lingusitik Umum.
Terj. Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah mada
University Press.
Sugono, Dendy. 2006. ”Politik Bahasa Nasional dan Pengaruh Bahasa Daerah dalam Bahasa Indonesia”. Dalam Seminar Internasional Leksikografi. Jakarta.
Summer Institute of Linguistics. 2006. Languages of
Indonesia. Jakarta.
Takaria, D. dan C. Pieter. 1998. Kamus Bahasa Melayu Ambon-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Wardhaugh, Ronald. 1988. “Language, Dialects, and Varieties”. Dalam An Introduction to Sosiolinguistics (hlm. 22—53). New York: Basil Blackwell.
Wurm, Stephen A. dan Hattori, Shiro. 1983. Language Atlas of The Pacific Area. Canberra: Australia National University.

Catatan:
Bahasa Jawa (Javanese) telah masuk di Google translate.

Leave a comment